A.
PENGERTIAN AQIDAH
Dalam
Kamus al-Munawir, secara etimologis, aqidah berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu-aqdan-aqidatan. ‘Aqdan berati simpul, ikatan,
perjanjian, dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti
keyakinan. Relevansi antara arti aqdan dan aqidah adalah
keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan
mengandung perjanjian.
Secara
terminologis terdapat beberapa definisi aqidah yang dikemukakan oleh para ulama
Islam, antara lain:
1. Menurut
Hasan Al-Banna dalam kitab Majmu’ah ar-rasail:
اَلْعَقَائِدُ هِيَ اْلاُمُوْرُ
الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ ِبهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ اَلَيْهَا نَفْسُكَ
وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ يُخَالِطُهُ شَكُّ.
“Aqaid
(bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib di yakini
kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang
tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
2. Menurut Abu bakar Jabir al-Jazairy
dalam kitab Aqidah al-Mukmin:
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ
مِنْ قَضَايَا اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ وَالَّسمْعِ
وَاْلفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهَا
صَدْرَهُ جَازِمًا بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا لاَ يُرَي
خِلاَفُهَا أَنَّّهُ يُصِحُّّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
“Aqidah
adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh
manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam
hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dari dua definisi di atas, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman mengenai aqidah yang
lebih proporsional, yaitu:
1. Setiap
manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indra untuk mencari kebenaran dan
wahyu untuk menjadi pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang
buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing
intrumen tersebut pada posisi sebenarnya.
2. Keyakinan
yang kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala pencampuradukan dengan
keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada
bercampur dengan syak dan kesamaran. Oleh karena itu untuk sampai kepada
keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu, yakni sikap menerima suatu kebenaran
dengan sepenuh hati setelah meyakini dalil-dalil kebenaran.
3. Aqidah
tidak boleh tidak harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang
meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan adanya kesekarasan dan
kesejahteraan antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan keyakinan yang
bersifat batiniyah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara
sikap lahiriyah dan batiniah.
4. Apabila
seseorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekuensinya ia harus sanggup
membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang
diyakininya itu.
B.
BEBERAPA ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH
1.
Iman
Ada
yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang membedakanya. Bagi
yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab
iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan
aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sedangkan kalau
kita mengikuti definisi iman menurut jahmiyah dan Asy’ariyah yang mengatakan
bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan dalam hati) maka iman dan aqidah
adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini, adalah pendapat Abu
Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah I’tiqad, sedangkan amal adalah
bukti iman, tetapi tidak dinamai iman. Sebaliknya jika kita mengikuti definisi
iman menurut ulama salaf (imam Malik, Ahmad, Syafi’I) yang mengatakan bahwa
iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan
dengan anggota tubuh) maka iman dan aqidah tentu tidak persis sama.
2. Tauhid
Tauhid
artinya mengesakan (mengesakan Allah-Tauhidullah). Ajaran tauhid adalah
tema sentral aqidah dan iman, oleh sebab itu aqidah dan iman diidentikan juga
dengan istilah tauhid.
3.Ushuluddin
Ushuluddin artinya pokok-pokok
agama. Aqidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah
merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.
4. Ilmu kalam
Kalam artinya berbicara, atau
pembicaraan. Dinamakan ilmu kalam karena banyak dan luasnya dialog dan
perdebatan yang terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa
hal. Misalnya tentang al-Qur’an apakah khaliq atau bukan, hadist atau qadim.
Tentang taqdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang
berdosa besar, kafir atau tidak dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan
luas seperti itu terjadi setelah cara berfikir rasional dan falsafati
mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.
5. Fikih Akbar
Fikih akbar artinya fikih besar.
Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaquh fiddin yang
diperintahkan Allah swt dalam surat at-Taubah ayat 122, bukan hanya
masalah fikih, tentu dan lebih utama masalah aqidah. Untuk membedakan dengan
fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga menjadi fikih
akbar.
6. Teologi Islam
Teologi berasal dari dua suku kata,
yaitu teo (Tuhan) dan logos (ilmu). Jadi teologi adalah ilmu
menegnai Tuhan. Dalam pengertian yang umum, teologi diartikan dengan
“pengetahuan yang berkaitan dengan seluk beluk tentang Tuhan. Para ahli
agama-agama mengartikan teologi dengan pengetahuan tentang Tuhan dan hubungan
manusia dengan Tuhan serta hubungan Tuhan dengan alam semesta. Sebagai ilmu
yang membicarakan ketuhanan, maka kata ini digunakan oleh semua agama. Sementara
untuk teologi Islam mengkaji seluk beluk ketuhanan yang terdapat dalam ajaran
Islam. Dengan demikian kata teologi bersifat netral, bisa digunakan kepada
agama apa saja, sesuai dengan karakter dari agama yang menjadikan ketuhanan
sebagai kajian utamanya.
7. Ilmu Ma’rifat
Disebut sebagai ilmu ma’rifah,
karena ilmu ini dapat mengenal atau memperkenalkan ajaran-ajaran aqidah Islam,
sehingga dalam pembahasanya meliputi: Pertama, ma’rifat al-mabda’ yaitu
mengenal Allah dengan segala sifat, af’al dan asma-Nya. Kedua, ma’rifat
al-wasithat yaitu mengenal utusan-utusan Allah meliputi malaikat, rasul dan
kitab-kitab Allah. Ketiga, ma’rifat al-ma’ad yaitu mengenal dan
mempercayai hari akhir dan segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan
iradah dengan takdir Allah swt.
C. SUMBER AQIDAH
Sumber
aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan
oleh allah dalam al-qur’an dan rasulullah dalam sunnah-nya wajib diimani,
diyakini, dan diamalkan.
Akal fikiran sama sekali bukan sumber
aqidah Islam, tetapi merupan instrumen yang berfungsi untuk memahami nash-nash
yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba – kalau diperlukan –
membuktikan secara ilmiyah kebenaran yang disampaikan oleh al-Qur’an dan
Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran penuh bahwa kemampuan akal
sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemapuan semua makhluk Allah. Akal
tidak akan mampu menjangkau masa’il ghaibiyah (masalah-masalah ghaib),
bahkan akal tidak akan sanggup menjangkau sesuatau yang tidak terikat oleh
ruang dan waktu. Misalnya, akal tidak mampu menunjukan jawaban atas pertanyaan
kekekalan itu samapi kapan kapan? Atau akal tidak sanggup menunjukan tempat
yang tidak ada di darat atau di laut, di udara dan tidak dimana-mana. Karena
kedua hal tersebut tidak terikat oleh ruang dan waktu. Oleh sebab itu akal
tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan
segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah
atau bisakah kejujuran si pembawa risalah tentang hal-hal ghaib itu bisa
dibuktikan secara ilmiyah oleh akal fikiran.
Berkenaan dengan peneyelidikan akal
untuk menyakini aqidah Islam, terutama yang berkenaan dengan hal-hal ghaib di
atas, manusia dipersilahkan untuk mengarahkan pandangan dan penelitianya kepada
alam semesta ini, di bumi, di langit, dan rahasia-rahasia yang terseimpan pada
keduanya. Manusia diperintahkan untuk memperhatikan bagaimana langit ditegakan
tanpa tiang seperti yang kita lihat, dan bumi dihamparkan dan dibangun dengan
suasana yang teratur dan teguh dalam sebuah system yang saling berjalin
berkelindan. Penyelidikan akal yang mendalam pasti akan mengatakan dan
meyakinkan, bahwa alam ini mustahil tercipta dengan sendirinya dan timbul
karena kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain, seperti keyakinan
dalam naturalisme.
Penyelidikan akal secara cermat
dapat melahirkan pengakuan mutlak bahwa semua alam semesta yang teratur, rapi,
dan berjalan menurut hukum yang tetap dan tak berubah-ubah mensyaratkan ada
penciptanya, pengatur dan pemeliharanya. Oleh karena itu, al-qur’an
berkali-kali menganjurkan dan memberikan petunjuk ke arah penyelidikan
dalammenetapkan aqidah dengan cara demikian. Lihat firman Allah QS
Al-baqarah:164.
D. CARA MENETAPKAN AQIDAH
Allah swt selaku syari telah memutuskan dan menetapkan untuk
memberikan keterangan-keterangan di sekitar masalah-masalah yang wajib diimani,
antara lain yang terkandung dalam arkanul iman. allah telah menggariskan
persoalan tersebut dengan jelas dan menuntut agar manusia mepercayainya. Iman
yang dimaksud itu adalah I’tiqad dengan kebulatan hati dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya serta berlandaskan dalil dan alasan. I’tiqad semacam
ini tentunya tidak dapat diperoleh dengan dalil-dalil sembarangan, melainkan
dengan dalil-dalil yang pasti dan tanpa dicampuri keraguan.
Oleh karena itu para ulama sepakat untuk menetapkan aqidah
berdasarkan tiga macam dalil, yaitu:
1. Dalil
Aqli;
Dalil ini dapat diterima apabila hasil keputusannya
dipandang masuk akal atau logis dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat
menimbulkan adanya keyakinan dan dapat memastikan adanya iman yang dimaksudkan.
Dengan menggunakan akal manusia merenungkan dirinya sendiri dan alam semesta,
yang dengannya ia dapat melihat bahwa dibalik semua ituterdapat adanya Tuhan
pencipta yang satu.
2.Dalil Naqli;
Dalil naqli yang tidak menimbulkan keyakinan dan tidak
menciptkan keimanan sebagai yang dimaksud, dengan sendirinya dalil tersebut
tidak dapat digunakan untuk menetapkan aqidah. Oleh karena itu Syaikh Mahmud
Syaltut mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi oleh dalil naqli sehingga
dalil tersebut dapat menanamkan keyakinan dan menetapkan aqidah:
a. Dalil
naqli itu pasti kebenaranya. Ini artinya bahwa dalil itu harus dapat dipastikan
benar-benar datang dari rasulullah tanpa ada keraguan sedikit pun. Dan yang
demikian itu hanya dapat dijumpai pada dalil-dalil yang mutawatir.
b. Dalil
naqli itu pasti dan tegas tujuanya. Ini artinya bahwa dalil naqli memilki makna
yang tepat dan tegas. Ini hanya bisa terjadi bila dalil-dalil itu tidak memilki
dua atau tiga pengertian sekaligus atau lebih.
3. Dalil
Fitrah;
Dalil ini adalah hakekat yang mendasari kejadian manusia.
Fitrah ini merupakan perasaan keagamaan yang ada dalam jiwa dan merupakan
bisikan batin yang paling dalam. Dan kesucian ini akan tetap terpelihara
manakala selalu membersihkan jiwanya dari tekanan kekuatan waham dan pengaruh
nafsu. Bila manusia membiarkan fitrah dan nalurinya berbicara, maka dia akan
mendapatkan dirinya berhadapan dengan kekuatan tertinggi di atas kekuatan
manusia dan alam. Ia akan berdoa dalam suka maupun duka. Lebih-lebih di saat
manusia berada dalam keputusasaan, diancam bahaya dan bencana. Di saat-saat
seperti itulah dia menghadapkan diri secara ikhlas kepada tuhan-nya, melepaskan
segala apa yang telah menyebabkan dia menghadapkan dirinya kepada selain Allah
karena pengaruh imajinasi, kebodohan, hawa nafsu, atau pengaruh tuhan-tuhan
palsu berupa manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati lainya.
E. RUANG
LINGKUP PEMBAHASAN AQIDAH
Kajian aqidah menyangkut keyakinan umat Islam atau iman.
Karena itulah, secara formal, ajaran dasar tersebut terangkum dalam rukun iman
yang enam. Oleh sebab itu, sebagian para ulama dalam pembahasan atau kajian
aqidah, mereka mengikuti sistematika rukun iman yaitu: iman kepada Allah, iman
kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk ruhani seperti jin, iblis,
dan setan), iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan rasul Allah,
iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar Allah swt.
Sementara Hasan al-Banna dalam kajiannya tentang aqidah
islam menggunakan sistematika sebagai berikut:
1. Ilahiyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan ilah (Tuhan, Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat
Allah,perbuatan-perbuatan (af’al) Allah dan sebagainya.
2. Nubuwat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah,
mukjizat, karamat dan sebagainya.
3. Ruhaniyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam metafisik seperyi Malaikat, Jin, Iblis, Setan, Roh dan lain
sebaginya.
4. Sam’iyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa
diketahui lewat sama’, yaitu dalil naqli berupa al-qur’an dan as-sunnah,
seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka
dan sebaginya.
Berbeda dengan dua sistematika di atas, Prof. Dr. H. Syahrin
Harahap, MA, dalam Ensiklopedi Aqidah Islam menjabarkan obyek kajian
aqidah mengacu pada tiga kajian pokok, yaitu:
1. Pengenalan
terhadap sumber ajaran agama (ma’rifatul mabda’), yaitu kajian mengenai
Allah. Termasuk dalam bidang ini sifat-sifat yang semestinya ada (wajib),
yang semestinya tidak ada (mustahil), dan yang boleh ada dan tiada (jaiz)
bagi Allah. Menyangkut dengan bidang ini pula, apakah Tuhan bisa dilihat pada
hari kiamat (ru’yat Allah).
2. Pengenalan
terhadap pembawa kabar (berita) keagamaan (ma’rifat al-wasithah). Bagian
ini mengkaji tentang utusan-utusan Allah (nabi dan rasul), yaitu kemestian
keberadaan mereka, sifat-sifat yang semestinya ada (wajib), yang
semestinya tidak ada (mustahil), serta yang boleh ada dan tiada (jaiz)
bagi mereka. Dibicarakan juga tentang jumlah kitab suci yang wajib dipercayai,
termasuk juga cirri-ciri kitab suci. Kajian lainya ialah mengenai malaikat,
menyangkut hakekat, tugas dan fungsi mereka.
3. Pengenalan
terhadap masalah-masalah yang terjadi kelak di seberang kematian (ma’rifat
al-ma’ad). Dalam bagian ini dikaji masalah alam barzakh, surga, neraka,
mizan, hari kiamat dan sebagainya.
F. TINGKATAN
AQIDAH
Tingkatan aqidah seseorang berbeda-beda antara satu dengan
yang lainya tergantung dari dalil, pemahaman, penghayatan dan juga
aktualisasinya. Tingkatan aqidah ini paling tidak ada empat, yaitu: taqlid,
ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
1. Tingkat Taqlid
Tingkat taqlid berarti
menerima suatu kepercayaan dari orang lain tanpa diketahui alasan-alasanya.
Sikap taklid ini dilarang oleh agama Islam sebagaimana disebutkan dalam QS
al-Isra’ (17): 36.
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”.
2. Tingkat
Ilmul Yaqin
Tingkat ilmul yaqin adalah suatu keyakinan yang
diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat teoritis. Sebagaimana yang disebutkan
dalam QS at-takatsur (102): 1-5.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ!حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ!كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ!كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ
الْيَقِينِ
“Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin.”
3. Tingkat
‘Ainul Yaqin
Tingkat ‘ainul yaqin adalah suatu keyakinan yang
diperoleh melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara. Hal
ini disebutkan di dalam QS at-Takatsur (102): 6-7.
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ!ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ
الْيَقِينِ!
“Niscaya
kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar
akan melihatnya dengan `ainul yaqin”.
4. Tingkat
Haqqul Yaqin
Tingkat haqqul yaqin adalah suatu keyakinan yang
diperoleh melalui pengamatan dan penghayatan pengamalan (empiris). Sebagaimana
disebutkan di dalam QS al-Waqi’ah (56): 88-89.
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ
الْمُقَرَّبِينَ!فَرَوْحٌ
وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ!وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ!فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ
الْيَمِينِ!وَأَمَّا
إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ!فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ!وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ!إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ!فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ!
“Adapun
jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka
dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta surga keni`matan. Dan adapun jika
dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan
kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat,
maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka.
Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar.
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
G.HAL-HAL YANG MERUSAK AQIDAH
1. Kufur Dan Kafir
i.
Pengertian
Dari
segi bahasa kufur berasal dari kata Arab: kufr, yang berarti menutupi
sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu kebaikan yang telah diterima, dan atau
tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterima. Orangnya disebut kafir,
bentuk jamaknya adalah kafirun atau kuffar. Dalam perkataan sehari-hari, kata kafir
agaknya lebih lazim dipakai dari kata kufur, meskipun kata kafir sering disebut
untuk menunjuk sesuatu yang bermakna kufur.
Sedangkan
dari segi istilah kufur sering diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang
menolak, menentang, mendstkan dan mengingkari kebenaran dari allah yang
disampaikan oleh rasul-Nya. Dalam al-Qur’an kata kufur mengacu kepada perbuatan
yang ada hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, sikap atau perbuatan yang
termasuk dalam kategori kufur ini, antara lain dapat diidentifikasi seperti:
a. Mengingkari
nikmat dan beberapa karunia Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya. Ini
ditemukan dalam QS an-Nahl: 55 dan QS ar-Rum: 34.
b. Lari
dari tanggung jawab atau berlepas diri dari suatu perbuatan. Ini ditemukan
dalam QS Ibrahim:22.
c.Pembangkangan atau penolakan terhadap hukum-hukum Tuhan.
Ini ditemukan dalam QS al-Maidah:44.
d. Meninggalkan
amal salih yang diperintahkan Tuhan. Ini ditemukan dalam QS ar-Rum: 44.
Lebih
jauh, dalam al-qur’an terdapat beberapa kata yang semakna dengan kata kufur,
yaitu: Bagha yang berarti melampaui batas (QS al-Syura:27); Batira
yang berarti bermewah-mewah/bersenang-senang (QS al-Qasas: 58); ‘Ata
yang berarti melampaui batas (QS al-Furqan: 21, at-Thalaq: 8, dan Al-A’raf:
166); Tagha yang berarti kesesatan (QS al-Maidah: 64, 68, 69, dan 72,
al-Kahfi: 80, al-Syams: 11-12, yunus: 7-8 dan 11, al-Nazi’at: 37-41 dan shad:
55-56), Istighna’ yang berarti merasa serba cukup (QS al-‘Alaq: 6-7, dan
al-Lail: 8-11); dan jabbar yang berarti sewenang-wenang (QS al-Mu’min:
35, QS Maryam: 12-14 dan 31 – 32).
ii.
Macam-macam Kufur atau kafir
Berdasarkan
keragaman makna kafir atau kufur sebagaimana diuraikan di atas dan melihat
secara tekstual dan kontekstual ayat-ayat al-qur’an yang mengungkapakan masalah
kekafiran, maka kufur atau kafir dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Kafir
harbi,
Yaitu kafir yang selalu memusuhi Islam. Apabila berada dalam
negara Islam mereka senantiasa ingin memecah belah orang-orang mukmin.
Sedangkan apabila berada di luar negara islam mereka memusuhi orang-orang Islam
dan bekerja sama dengan orang-orang yang telah memerangi Allah swt, dan
rasul-Nya sejak dulu, guna membuat kerusuhan di muka bumi. Ini dapat dilihat
dalam QS at-Taubah: 107.
b.Kafir ‘inad,
Yaitu kafir yang mengenal Tuhan dengan hati dan mengakui-Nya
dengan lisan, tetapi tidak mau menjadikanya sebagai suatu keyakinan karena
adanya rasa permusuhan, dengki dan semacamnya. Ini dapat dilihat dalam QS Hud:
59, dan Qaf: 24.
c. Kafir
Ingkar,
Yaitu kafir yang mengingkari adanya Tuhan secara lahir
batin, mengingkari adanya rasul-rasul-Nya serta ajaran-ajaran yang dibawanya,
mengingkari adanya hari kemudian. Jenis kafir ini dapat dikategorikan sebagai
penganut ateisme (paham yang mengingkari keberadaan Tuhan). Mereka hanya
percaya pada hal-hal yang bersifat materialisme semata. Ini dapat dilihat dalam
QS al-Jasiyah: 24.
d. Kafir
Juhud,
Yaitu kafir yang membenarkan dengan hatinya adanya Tuhan dan
rasul-rasulnya serta ajaran-ajaran yang dibawanya, tetapi tidak mau
mengikrarkan kebenaran itu secara lahir. Ciri khas dari jenis kafir ini pada
dasarnya sama dengan kafir ingkar, terkecuali pada kafir juhud, kesombongan,
keangkuhan, dan rasa superioritas merupakan ciri khas yang sangat dominan. Ini
dapat dilihat dalam QS al-naml: 14.
e. Kafir
kitabi,
Yaitu kafir yang mengimani beberapa kepercayaan pokok yang
dianut islam, akan tetapi kepercayaan mereka tidak utuh, penuh cacat, dan
parsial. Mereka membuat diskriminasi terhadap rasul-rasul Allah, kitab-kitab
suci-nya, terutama terhadap nabi Muhammad dan al-qur’an. Mereka dalam al-Qur’an
sering disebut sebagai kelompok ahlul kitab(orang yang diberi kitab). Dan orang
Yahudi dan Nasrani termasuk dalam kelompok tersebut.
f. Kafir
nifaq,
Yaitu kafir yang secara lahiriyah nampak beriman tetapi batinya
mengingkari Tuhan. Mereka itulah yang disebut orang munafik, yaitu: orang kafir
yang memakai baju mukmin. Watak dasar mereka adalah khianat, ingkar janji,
dusta, egois, dan ria. Ini dapat dilihat dalam QS al-maidah: 41.
g. Kafir
ni’mah,
Yaitu kafir yang perbuatannya cenderung menyalahgunakan
nikmat-nikmat Tuhan, tidak mendayagunakan nikmat tuhan pada hal-hal yang
diridhai-Nya, dan tidak berterima kasih atas nikmat yang diperoleh dalam hidup
ini. Ini dapat dilihat dalam QS Ibrahim: 7.
h. Kafir
Syirk,
Yaitu jenis kafir yang menodai sifat yang paling esensial
bagi Tuhan, yakni keesaan, yang berarti merusak kemahasempurnaan-Nya. Meskipun
mereka tidak mengingkari eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam ini, tetapi
mereka mempercayai keberadaan banyak tuhan sebagai tempat mengantungkan nasib
mereka. Ini dapat dilihat dalam QS al-Nisa’: 48.
i. Kafir
riddah,
Yaitu kekafiran yang disebabkan seseorang keluar dari islam.
Seorang muslim dinyatakan murtad apabila ia memberi pengakuan secara sadar dan
bebas (tanpa tekanan dan paksaan) bahwa ia keluar dari Islam atau meyakini
suatu keyakinan (agama) yang bertentangan dengan ajaran dasar aqidah dan
syariat Islam. Ini dapat dilihat dalam QS al-baqarah: 217.
2. Syirik
i. Pengertian
Kata syirik berasal dari kata Arab
syirk yang berarti sekutu atau persekutuan. Dalam istilah ilmu tauhid, syirik
digunakan dalam arti mempersekutukan tuhan lain dengan Allah, baik persekutuan
itu mengenai zat-Nya, sifat-Nya atau af’al-Nya, maupun mengenai ketaatan yang
seharusnya ditujukan hanya kepada-Nya saja. Ini dapat dilihat dalam QS
az-zumar: 38, Al-Ankabut: 63, dan al-zukhruf: 87.
Percaya kepada Allah tidaklah dengan
sendirinya berarti iman atau tauhid. Sebab iman kepada Allah itu tidaklah cukup
dalam arti hanya percaya kepada-Nya saja, melainkan mencakup pengertian yang
benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita bersikap
kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia. Oleh karena itu orang-orang
Arab sebelum Islam, kendati mereka sudah percaya kepada Allah, bahwa yang
menciptakan alam raya, yang menurunkan hujan dan bahkan yang menciptakan
manusia seluruh jagat tersebut adalah Allah swt, mereka tidak bisa disebut
sebagai orang yang beriman, karena kepercayaan mereka kepada Allah masih
mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain selain Allah dalam
keilahian-Nya. Oleh sebab itulah mereka disebut sebagai kaum musyrik sebagai
anti tesis dari kaum yang bertauhid.
ii. Bentuk-bentuk syirik
Dalam al-Quran, ada tiga puluh enam
bentuk kata yang berasal dari akar kata syirik. Dari sejumlah itu, Maulana
Muhammad Ali meyimpulkan paling tidak ada empat bentuk syirik, yaitu:
a. Menyembah
sesuatu selain Allah, misalnya batu, patung, pohon, bintang, kuburan,
benda-benda langit, kekuatan-kekuatan alam, manusia yang dianggap setengah dewa
atau penjelmaan Tuhan, anak laki-laki atau anak perempuan Tuhan. Ini dapat
dilihat dalam QS az-Zumar: 3.
b.Menyekutukan sesuatu dengan Allah, artinya menganggap
barang-barang itu mempunyai sifat-sifat yang sama seperti Tuhan. Misalnya:
kepercayaan ada tiga oknum ketuhanan, keyakinan bahwa sang putra dan sang roh
kudus itu kekal, maha tahu, maha kuasa seperti Allah, dan lain sebagainya. Ini
dapat dilihat dalam QS an-Nisa’: 171.
c. Sebagain
manusia mengambil sebagian yang lain sebagai Tuhan. Ini dapat dilihat dalam QS
at-Taubah: 31.
d. Orang
mengikuti hawa nafsu secara membabi buta. Orang yang mengikuti hawa nafsunya
secara berlebihan termasuk perbuatan syirik, karena ketaatannya kepada hawa
nafsunya melebihi ketaatanya kepada Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS
al-Furqon: 43.
3.Riddah Dan Murtad
i. Pengertian
Kata riddah, makna asalnya
kembali (ke tempat atau jalan semula). Sedangkan kata murtad adalah untuk
menyebut pelakunya. Pengertian ini mencakup keluar dari iman dan kembali kepada
kekafiran. Secara istilah murtad didefinisikan sebagai seseorang yang secara
sadar (tanpa paksaan) keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan,
atau perbuatan yang menyebabkanya menjadi kafir, pindah kepada agama lain atau
tidak beragama sama sekali.
Dalam hubungan ini, bila seseorang yang mulutnya menyatakan
keluar dari agama Islam karena dipaksa oleh orang lain – seperti diancam hendak
dibunuh – sementara hatinya tetap beriman, maka ia tidak termasuk golongan yang
murtad. Ini dapat dilihat dalam QS an-nahl: 106.
ii.
Konsekuensi riddah
Dalam persepktif al-qur’an, Islam tidak memaksa seseorang
untuk menjadi pemeluknya (QS al-baqarah: 256), namun ketika seseorang
menyatakan memeluk Islam, ia terikat dan tidak boleh keluar darinya. Oleh
karena itu, manakala seseorang keluar dari islam ada beberapa konsekuensi yang
diterimanya, yaitu:
a. Seluruh
amal salih yang pernah dilakukakanya sebelum murtad terhapus, bahkan diancam
oleh Allah SWT dengan siksa yang amat berat. Ini terdapat dalam QS al-baqarah:
217.
b.Perkawinanya yang dilakukan sebelum murtad menjadi fasakh
(batal demi hukum) tanpa melalui proses perceraian atau thalaq.
c. Tidak
bisa mendapatkan hak waris dari kerabatnya yang muslim, meskipun menurut
sebagain ulama, orang muslim masih boleh (berhak) menerima warisan dari
kerabatnya yang murtad.
4. Bid’ah
i. Pengertian
Arti bid’ah menurut bahasa ialah segala macam apa saja yang
baru, atau mengadakan sesuatu yang tidak berdasarkan contoh yang sudah ada.
Sedangkan arti bid’ah secara istilah adalah mengada-adakan sesuatu dalam agama
islam yang tidak dijumpai keteranganya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
ii.
Macam-macam bid’ah
bila dilihat dari segi ushul fikih (kaidah-kaidah hukum
Islam) bid’ah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Bid’ah
dalam ibadah saja, yaitu segala sesuatu yang diada-adakan dalam soal ibadah
kepada Allah swt yang tidak ada contohnya sama sekali dari rasulullah baik
dengan cara mengurangi atau menambah-nambah aturan yang sudah ada.
b. Bid’ah
meliputi segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, baik yang
berkaitan dengan urusan ibadah, aqidah maupun adat. Perbuatan yang diada-adakan
itu seakan-akan urusan agama, yang dipandang menyamai syari’at Islam, sehingga
mengerjakanya sama dengan mengerjakan agama itu sendiri.
Semua bentuk bid’ah diatas sangat tercela dan tidak boleh
dilakukan. Aisyah ra menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah berabda: “Barang
siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama, maka ia ditolak, tidak
diterima, dan bid’ah namanya” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam kesempatan
lain rasulullah saw berkhutbah di atas mimbar dan bersabda: “Amma ba’du,
sesungguhnya sebenar-benar keterangan ialah kitab allah dan sebaik-baik pedoman
ialah pedoman Muhammad dan sejelek-jelek urusan adalah hal-hal yang baru,
itulah yang disebut bid’ah dan segala bid’ah itu sesat’. Oleh imam Nasa’I
ditambah “dan segala yang sesat itu di neraka”. (HR Muslim riwayat dari
jabir bin Abdullah).
5. Khurafat
i.
Pengertian
Kata khurafat berasal dari bahas arab: al-khurafat
yang berarti dongeng, legenda, kisah, cerita bohong, asumsi, dugaan,
kepercayaan dan keyakinan yang tidak masuk akal, atau akidah yang tidak benar.
Mengingat dongeng, cerita, kisah dan hal-hal yang tidak masuk akal di atas
umumnya menarik dan mempesona, maka khurafat juga disebut “al-hadis
al-mustamlah min al-kidb”, cerita bohong yang menarik dan mempesona.
Sedangkan secara istilah, khurafat adalah suatu kepercayaan,
keyakinan, pandangan dan ajaran yang sesungguhnya tidak memiliki dasar dari
agama tetapi diyakini bahwa hal tersebut berasal dan memiliki dasar dari agama.
Dengan demikian, bagi umat Islam, ajaran atau pandangan, kepercayaan dan
keyakinan apa saja yang dipastikan ketidakbenaranya atau yang jelas – jelas
bertentangan dengan ajaran al-qur’an dan Hadis nabi, dimasukan dalam kategori
khurafat.
ii. Asal usul
Menurut Ibn Kalabi, awal cerita khurafat ini berasal dari
Bani ‘Udrah atau yang lebih popular dikenla dengna Bani Juhainah. Suatu ketika
ada salah seorang dari Bani Juhainah ini pulang ke kampung halamannya.
Kedatangannya mengundang banyak anggota bani Juhainah untuk datang sekedar
melihatnya karena sudah lama tak pulang kampung. Ketika banyak orang berkerumun
untuk mengunjunginya, ia banyak bercerita tentang banyak hal yang ada kaitanya
dengan wilayah keagamaan, seperti yang pernah ia lihat dan ia rasakan selema
kepergianya. Cerita-cerita yang dikemukakan, memang sulit diterima oleh akal,
namun cerita yang disampaikan sungguh amat mempesona para hadirin yang
mendengarnya.
Meskipun cerita itu tidak bisa diterima oleh akal, namun
tidak sedikit di antara hadirin yang mendengarkan secara seksama, meskipun
secara diam-diam mereka mencoba merenungkan kebenarnya. Setibanya di rumah
masing-masing, mereka mendiskusikan cerita tersebut dengan sanak keluarga dan
tetangga terdekat. Akhirnya cerita-ceruita itu berkembang dan tersebar di
seluruh masyarakat bani Juhainah. Dalam perkebanganya kemudian, cerita-cerita
yang tak masuk akal dan tidak didasarkan pada sumber al-Qur’an mapun Sunnah
itu, oleh masyarakat dianggap sebagai sebuah cerita bernilai religius dan
mempunyai dasar dari agama.
Khurafat ini berkembang dengan pesat seirama dengan
pembudayaan apa yang disebut dengan taklidisme (ajaran yang bersikap
ikut-ikutan). Dengan bersikap taklid, tanpa mengembangkan sikap kritis dalam
menerima kebenaran cerita, pendapat, fatwa dan sejenisnya yang berkaitan dengan
wilayah keagamaan, akan menimbulkan bentuk-bentuk perbuatan yang menyimpang
dari ajaran Islam. sikap kritis yang dibutuhkan adalah melihat sejauhmana cerita,
pendapat, fatwa, dan sejenisnya itu disimpulkan dari sumber Islam yang otentik.
Jika sikap ini tidak dikembangkan, maka munculnya penyimpangan dari ajaran
Islam tampaknya tidak terhindarkan lagi.
Khurafat, seperti disebutkan di atas, banyak ditemukan dalam
masyarakat kita dalam semua budang kehidupan manusia. Khurafat tidak hanya
menyangkut sesuatu (benda) yang dianggap mempunyai legitimasi Islam, tetapi
juga menyakngkut diri manusia sendiri,, yang kesemuanya diyakini mempunyai dan
memiliki kekuatan magis padahal yang mempunyai kekuatan seperti hanya Allah
semata. Contoh khurafat yang popular di Indonesia, misalnya tentang kewalian
dan kekeramatan seseorang. Cerita yang dikategorikan khurafat yang samapi saat
ui masih berkembang di masyarakat, misalnya tentang Syaikh Abdul Qadir Jailani,
adalah kepiawaiannya berduel dengan malaikat. Dalam duel itu, abdul qadir
jailani dikisahkan mampu memenangkan duel. Kisah duel antara Abdul Qadir jailan
dan malaikat ini bermula dari pencabutan nyawa seseorang. Kematian ini
memunculkan rasa iba dalam diri Abdul Qadur jailani terhadap yang
ditinggalkanya. Rasa iba ini menggerekan hatinya untuk mencoba berdialog dengan
malaikat yang mencabut nyawa tadi, agar seorang yang dicabut nyawanya tersebut
dapat dianulir mengingat keluarganya amat terpukul dengan kematianya. Upaya
dialog abdul Qadir Jailani sebagai jalan terakhir untuk mengembalikan orang
yang mati tadi tidak membuahkan hasil. Akhirnya terjadilah duel, dan dalam duel
dimenangkan oleh abdul qadir Jailani. Kekalahan malaikat ini mengharuskannya
untuk mengembalikan nyawa kepada yang telah dicabut nyawanya tadi. Akhirnya
hiduplah kembali orang tersebut, dan kembalinya orang ini sangat membahagiakan
keluarganya.
iii.
Bentuk-bentuk Khurafat
Djarnawi hadikusuma, dalam salah satu bukunya “Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, Bid’ah dan Khurafat”, menjelaskan beberapa prilaku yang bisa
dikategorikan sebagai perbuatan khurafat, yaitu:
a. Mempercayai
bahwa berjabat tangan dengan orang yang pernah berjabat tangan dengan orang
yang secara berantai sampai kepada orang yang pernah berjabat tangan dengan
rasulullah akan masuk surga.
b. Mendapatkan
barakah dengan mencucup tangan para ulama. Demikian itu dikerjakan dengan
kepercayaan bahwa berkah allah kepada ulama itu akan berlimpah kepadanya.
c. Mempercayai
beberapa ulama tertentu itu keramat serta menjadi kekasih allah sehingga
terjaga dari berbuat dosa. Andakata pun berbuat dosa, maka sekedar sengaja
diperbuatnya untuk menyembunyikan kesucianya tidak dengan niat maksiat.
d. Memakai
ayat-ayat al-qur’an untuk azimat menolak bala’, pengasihan dan sebagainya.
e.Mengambil wasilah (perantara) orang yang telah mati
untuk mendo’a kepada Allah. Mereka berziarah ke kuburan para wali dan ulama
besar serta memohon kepada allah agar do’a (permohonan) orang yang berziarah
kuburnya itu di kabulkan. Ada yang memohon dapat jodoh, anak, rizki, pangkat,
keselamatan dunia akhirat dan sebagainya. Mereka percaya dengan syafa’at
(pertolongan) arwah para wali dan ulama itu, permohonan atau doa mesti
dikabulkan Allah karena wali dan ulama itu kekasih-nya.
6. Tahayul
Kata tahayul berasal dari bahasa Arab, al-tahayul yang
bermakna reka-rekaan, persangkaan, dan khayalan. Sementara secara istilah,
tahayul adalah kepercayaan terhadap perkara ghaib, yang kepercayaan itu hanya
didasarkan pada kecerdikan akal, bukan didasarkan pada sumber Islam, baik
al-Qur’an maupun al-hadis.
Bila ditengok ke masa lampau, di berbagai negara, khusus
timur tengah, kepercayaan model tahayul ini pernah berkembang pesat. Pada zaman
Persi mislanya, sudah ada agama zoroaster. Menurut agama ini, ada Tuhan baik
dan Tuhan buruk (jahat). Api dilambangkan sebagai Tuhan yang baik. Sedang angin
topandilambangkan sebagai Tuhan yang jahat. Kepercayaan ini berkembang dengan
keharusan untuk menghormatinya, yang kemudian diwujudkan dengan sajian atau
dengan penyembahan melalui cara tertentu terhadap sesuatu yang menjadi pujaanya
yang dirasa mempunyai kekuatan tertentu.
Di Indonesia, tahayul berkembang dan menyebar dengan mudah,
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh agama dan kepercayaan lama. Adanya beberapa
bencana alam menimbulkan korban menjadikan manusia berfikir untuk selalu baik
dan menyantuni alam yang direalisasikan dalam suatu bentuk pemujaan dengan
harapan bahwa sang alam tidak akan marah dan mengamuk lagi. Kepercayaan
animisme dan dinamisme merupakan suatu aliran kepercayaan yang ditimbulkan dari
keadaan di atas, seperti kepercayaan pada pohon besar, atau keris yang dianggap
mempunyai kekuatan tertentu atau benda-benda lainya. Kepercayaan kepercayaan
itu terus berlanjut dan berkembang bersama perkembangan kerajaan- kerajaan
Hindu yang menggunakan mistik (kebatinan) sebagai salah satu aliranya.
7. Nifaq Atau Munafiq
Nifaq secara bahasa berasal dari
kata Arab na-fi-qa-u, yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu (hewan
sejenis tikus) dari sarangnya. Nifaq juga dikatakan berasal dari kata na-fa-qa,
yaitu lubang tempat bersembunyi. Sementara menurut syara’, nifaq berarti
menampakan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
Nifaq dibedakan dalam dua jenis
yaitu nifaq I’tiqadiy dan nifaq ‘amaliy. Pertama: Nifaq
I’tiqadiy (keyakinan) atau nifaq besar, dimana pelakunya menampakan
keislaman, akan tetapi menyembunyikan kekufuran. Orang yang termasuk nifaq ini berarti
ia keluar dari agama dan dia berada di dalam kerak neraka. Dalam al-Qur’an,
Allah menyifati pelaku-pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti
kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok, dan mencaci agama beserta pemeluknya,
serta kecenderungan kepada musuh-musuh agama untuk bergabung dengan mereka
dalam memusuhi Islam. Pelaku nifaq (munafiq) jenis ini ada di sepanjang jaman.
Mereka melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara
sembunyi-sembunyi; mereka hidup di tengah umat muslim. Sebab itu, seorang
munafiq menampakan keimanannya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan hari akhir, akan tetapi dalam batinya terlepas dari semua
itu dan lebih dari itu mereka mendustakanya. Nifak jenis ini ada empat macam:
1) mendustakan rasulullah atau mendustakan sebagaian dari apa yang beliau bawa,
2) membenci rasulullah atau membenci sebagian dari apa yang beliau bawa, 3)
merasa gembira dengan kemunduran agama Islam, dan 4) tidak senang dengan
kemenangan Islam.
Kedua, Nifaq ‘Amaly (perbuatan), yaitu melakukan sesuatu yang merupakan
perbuatan orang-orang munafik, akan tetapi masih ada iman di dalam hati. Nifaq
jenis ini tidak membawa pelakunya keluar dari agama, akan tetapi bisa menjadi wasilah
(perantara) bagi pelakunya keluar dari agama jika dia melakukan perbuatan nifaq
secara terus menerus.
H. SIGNIFIKANSI
DAN FUNGSI AQIDAH
Sesuai dengan fungsinya sebagai
dasar agama, maka keberadaan aqidah Islam sangat menentukan bagi seorang muslim,
sebab dalam system teologi agama ini diyakini bahwa sikap, perbuatan dan
perubahan yang terjadi dalam perilaku dan aktivitas seseorang sangat
dipengaruhi oleh system teologi atau aqidah yang dianutnya. Untuk itu
signifikansi akidah dalam kehidupan seseorang muslim dapat dilihat paling tidak
dalam empat hal, yaitu:
1. Aqidah
Islam merupakan landasan seluruh ajaran Islam. Di atas keyakinan dasar inilah
dibangun ajaran Islam lainya, yaitu syari’ah (hukum islam) dan akhlaq (moral
Islam). Oleh karena itu, pengamalan ajaran Islam lainya seperti shalat, puasa,
haji, etika Islam (akhlak) dan seterusnya, dapat diamalkan di atas bagunan
keyakinan dasar tersebut. Tanpa keyakinan dasar, pengamalan ajaran agama tidak
akan memiliki makna apa-apa.
2. Akidah
Islam berfungsi membentuk kesalehan seseorang di dunia, sebagai modal awal
mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal ini secara fungsional terwujud dengan
adanya keyakinan terhadap kehidupan kelak di hari kemudian dan setiap orang
mempertanggungjawabkan perbuatanya di dunia.
3.Akidah Islam berfungsi menyelamatkan seseorang dari
keyakinan-keyakinan yang menyimpang, seperti bid’ah, khurafat, dan
penyelewengan-penyelewengan lainya.
4. Akidah
islam berfungsi untuk menetapkan seseorang sebagai muslim atau non muslim.
Begitu pentingnya kajian akidah islam hingga bidang ini
telah menjadi perbincangan serius di kalangan para ahli sejak zaman awal Islam
sampai hari ini, termasuk di Indonesia. Di dalam apresiasinya, kajian mengenai
bidang ini melahirkan beberapa aliran, seperti Muktazilah, Asy’ariyah, Murjiah,
Syiah, Khawarij, Qadariyah, Jabbariyah dan lain-lain.
Sebagai hal yang sangat fundamental bagi seseorang, aqidah
oleh karenanya disebut sebagai titik tolak dan sekaligus merupakan tujuan
hidup. Atas dasar itu maka aqidah memiliki peran yang sangat penting di dalam
memunculkan semangat peningkatan kualitas hidup seseorang. Fungsi tersebut
antara lain:
a. Akidah Dapat Menimbulkan Optimisme Dalam Kehidupan.
Sebab manusia yang di dalam dirinya tertanam akidah atau
keyakinan yang kuat, akan selalu merasa optimis dan merasa akan berhasil dalam
segala usahanya. Keyakinan ini didorong oleh keyakinan yang lain bahwa allah
sangat dekat padanya, bahkan selalu menyertainya dalam usaha dan
aktivitas-aktivitasnya. Sementara bagi orang yang tidak memiliki akidah yang
benar dan kuat tidak akan memilki keyakinan yang kuat, jiwanya akan menjadi
gersang dan hampa, dan selalu diliputi keraguan dalam bertindak. Sehingga jika
tertimpa sedikit cobaan dan rintangan, ia menjadi gelisah, keluh kesah, yang sering
kali berakhir dengan putus asa, karena ia tidak memiliki pegangan batin yang
kuat di luar kemampuanya.
b. Akidah Dapat Menumbuhkan Kedisiplinan.
Disiplin dimaksud, seperti disebut oleh yusuf qardhawiy,
adalah kepatuhan dan ketaatan dalam mengikuti semua ketentuan dan tata tertib
yang berlaku, termasuk hukum alam (sunnah allah) dengan kesadaran dan tanggung
jawab. Akidah yang mantap akan mampu menempatkan diri seseorang sebagai makhluk
berdisiplin tinggi dalam kehidupanya. Disiplin adalah kata kunci untuk
keberhasilan. Karena itu bila seseorang muslim ingin berhasil, ia harus
berdisplin. Tanpa dsiplin, tidak munngkin seseorang dapat meraih kesuksesanya.
Dalam konteks peningkatan kualitas hidup displin sangat dituntut terutama:
§ Disiplin
dalam waktu. Artinya, tertib dan teratur dalam memanfaatkannya dalam penanganan
kerja maupun dalam melakukan ibadah mahdhah.
§ Disiplin
dalam bekerja. Artinya, seorang muslim yang berakidah menyadari bahwa ia harus
bekerja, sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah. Dan agar
kerjanya berhasil baik, diperlukan sikap displin. Sebab penangan kerja dengan
kedisplinan akan menghasilkan sesuatu secara maksimal dan membahagiakan.
c. Aqidah Berpengaruh Dalam Peningkatan Etos Kerja.
Sebab seseorang yang memilki keyakinan yang mantap akan
selalu berupaya keras untuk keberhasilan kerjanya, sebagai bagian dari
pemenuhan kataatanya pada Allah. Dengan demikian melalui aqidahnya akan
tersembul etos kerja yang baik yang tercermin dari ciri-ciri berikut ini:
1) Memiliki
jiwa kepeloporan dalam menegakan kebenaran
Kepeloporan disini dimaksud sebagai
mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain agar dapat
meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi, ia memilki kemampuan untuk mengambil
posisi dan sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiranya selalu
dirasakan memberikan spirit bagi munculnya semangat peningkatan kualitas hidup
setiap oran di sekitarnya.
2) Memiliki
perhitungan (kalkulatif)
Setiap langkah dalam hidupnya selalu diperhitungkan dari
segala aspek, termasuk untung dan resikonya, dan tentu saja sebuah perhitungan
yang rasional.
3) Tidak
merasa puas dalam berbuat kebajikan
Tipe muslim yang memilki aqidah yang kaut akan tampak dari
semangatnya yang tak kenal lelah melakukan berbagai aktivitas untuk mencapai
dan menegakan kebaikan. Sekali dia berniat, ia akan menepati cita-citanya
secara serius dan cermat, serta tidah mudah menyerah bila berhadapan dengan
cobaan dan rintangan. Dengan semangat semacam ini seorang muslim selalu
berusaha mengambil posisi dan memainkan peranan positif, dinamis, dan keratif
dalam penanganan kerjanya, dan memberi contoh kepada orang yang disekitarnya.
Sedemikian pentingnya peran dan kontribusi aqidah bagi
peningkatan kualitas hidup seorang muslim, hingga pemerhati masalah-masalah
tauhid, Ismail Razi al-faruqi menyebut aqidah (tauhid) sebagai prinsip ekonomi
Islam dalam bentuk etika produksi, etika distribusi dan etika konsumsi.
lingkup
keberagamaan dan strukturnya
I.Pendahuluan
Islam merupakan agama yang hadir melalui perantara nabi Muhammad yaiu dengan di wahyukan Al qur’an sebagai sumber ajaran. Sebagai wujud yang diturunkan oleh Allah, islam mempunyai dimensi transedental. Dengan kebenaran yang bersifat untestable truth dan hanya berhenti pada dimensi ajaran atau ide saja.
Sebagai suatu ajaran, islam harus dilaksanakan oleh semua pemeluk diseluruh dunia. Namun hal ini belum merupakan pelaksanaan alam praksis kehidupan masyarakat yang bersifat konkrit, maka harus dijembatani oleh proses faktualisasi ujung akhir proses faktualisasi ini adalah terwujudnya ajaran agam islam yang normatif menjadi tampilan konkret yang empiris. Tampilan konkret pelaksanaan ajaran islam inilah yang akrab disebut keberagamaan.
Sebelum menjadi lingkup keberagamaan sebagaimana dimaksud dalam mata kuliah tekhnologi keberagamaan, maka terlebih dahulu perlu dipahami perbedaan anatar agama dan keberagmaan. Hal ini penting didahuukan mengingat selama ini masih ada pemahaman yang rancu dan tidak bisa membedakan esensi agama dengan esensi keberagamaan. Bila dalam membedakan esensi agama dengan esensi keberagamaan saja masih kabur, maka akan terjadi kekeliruan dalm membedakan lingkup dan struktur keberagamaan itu sendiri.1
II.Rumusan Masalah
Apa saja perbedaan antar agama dengan keberagamaan ?
Apa saja lingkup keberagamaan itu ?
Meliputi apa saja struktur keberagamaan itu ?
III.Pembahasan
A.Agama Dan Keberagamaan
Agama terdiri atas wahyu yang terkandung di dalam al qur’an dan unsur hadis yang memang dialamatkan kepada seluruh umat manusia. Agama hanya menunjukkan pada dimensi ajaran atau ide dan baru dapat menjadi kenyataan konkret jika sudah menjadi keberagamaan2.
Dengan demikian keberagamaan adalah respon manusia terhadap wahyu Tuhan. Wujudnya adalah posisinya sebagai mahluk individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pelaksanaan konkret dimaksud dapat berupa pola pikir, ucapan, sikap, maupun perbuatan-perbuatan3.
Perbedaan konsep agama dan keberagamaan sekaligus merumuskan esensi islam sebagai wahyu harus dilaksanakan dalam kehidupan konkret. Agama bersifat universal dan keberagamaan bersifat singular. Universalitas islam sepenuhnya dapat dicari dalam al qur’an. Sementara sunnah atau hadis pada tampilan empirisnya adalah faktualisasi ajaran islam oleh Rosulullah dalam ruang waktu dimana beliau hidup. Ini berarti sunnah adalah singularitas islam diarab pada masa rosulullah hidup4.
B.Lingkup Keberagamaan
Salah satu unsur dasar dalam islam adalah adanya kesatuan antara dunia dan akhirat. Prinsip dasar ini kemudian di pertegas dengan rumusan islam kaffah yang mengandung arti bahwa ajaran islam didalamnya meliputi seluruh kehidupan umat manusia. Ini berarti, seluruh aspek kehidupan apakah duniawi atau ukhrowi adalah medan keberagamaan dalam wujud respon kepada wahyu Allah SWT5. Karena merupakan wujud respon kepada wahyu Tuhan, maka cakupan atau lingkup pengalaman ini akan mengacu pada cakupan atau lingkup pengalaman ini akan mengacu pada cakupan atau lingkup bidang – bidang kehidupan kemanusiaan yang di kehendaki oleh wahyu.6
Keberagamaan islam sangat berkait erat dengan agama yang diturunkan oleh Allah swt melalui nabi Muhammad saw . akan tetapi antara keduanya (agama dan keberagamaan) terdapat relevansi metodologis yang cukup mendasar. Agama bersifat universal, sedangkan keberagamaan islam bersifat singular.
Cakupan lingkup keberagamaan dalam islam yang demikian utuh mencakup seluruh segi kehidupan manusia baik aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, tekhnologi dan sebagainya. Demikian juga dalam agama normative, muatan keberagamaan meliputi seluruh segi kehidupan umat manusia7.
C.Struktur Keberagamaan
Dalam islam keberagamaan merupakan aktualisasi ajaran islam dalam seluruh lapis kehidupan manusia. Lingkup keberagaamnan ini bukan hanya meliputi kehidupan didunia akan tetapi juga kehidupan setelah mati. Ruang lingklup keberagamaan didunia mempertimbangkan beberapa hal seperti : materi kegiatan, pelaku, konteks pelaksanaan kegiatan, dan tujuan yang akan dicapai. Ada unsur-unsur ini keberagamaan dalam islam meliputi semua aspek kehidupan8.
Keberagamaan dalam pelaksanaanya merupakan gejala yang terbentuk dari berbagai unsur. Unsur-unsur pembentuknya adalah Tuhan yang menurunkan petunjuknya dalam wujud Al qur’an dan sunnah, serta manusia yang memberikan respon dalam wujud pemikiran perbuatan dan kehidupan sosial yang menjangkau seluruh segi kehidupan mereka9.
Selanjutnya substansi keberagamaan pada dasarnya dapat dibagi menjadi beberapa lapis, bergantung pada karakter maisng-masing unsur dan pengaruhnya terhadap pembentukan keberagamaan secara keseluruhan, lapis keberagamaan sebagai meliputi :
Lapis transedental
Lapis kejiwaan
Lapis lapis perilaku perorangan
Lapis kehidupan kelompok
Namun ditilik dari sisi metodologi, dengan mempertimbangkan dinamika hubungan antara universalitas dan singularitas, lapis keberagamaan terdiri atas :
a)Dimensi normative
Pada dimensi normative, lapis keberagamaan hanya berorientasi pada aspek normative dari ajaran islam semata dan tidak membuka peluang bagi aspek prosedur pelaksanaanya. Pada dimensi ini, umat islam dalam pengalaman hukum islam berhenti pada sisi normative syari’at islam menurut bahasan yang dikemukakan para imam madhab.
b)Dimensi spekulatif
Pada dimensi spekulatif, justru keberagamaan berhenti pada rumusan pemahaman tentang masalah aqidah yang bercorak filsafat. Pola keberagamaan pada dimensi ini semakin menjauh dari kehidupan konkrit karena terpaku pada rumusan-rumusan yang bersifat spekulatif.
c)Dimensi intuitif
Pada dimensi intuitif, keberagamaan lebih mengarah pada upaya perumusan konsep perjalanan riyadloh menjadi seperangkat latihan moral, dan pada akhirnya tujuan yang dicapai lebih mengarah pada upaya mendekatkan diri pada Tuhan dari pada melaksanakan perintah-Nya dalam kehidupan praktis.
d)Dimensi terapan
Dari ketiga lapis keberagamaan tersebut, baik pada dimensi normative, spekulatif maupun intuitif jelas bukan merupakan wujud keberagamaan islam yang benar-benar diharapkan dan dapat menyelesaikan berbgai persoalan bangsa yang demikian kusut. Padahal lingkup keberagamaan yang tidak boleh ditinggalkan adalah dimensi praktis atau terapan dalam kehdupan konkret pemeluk. Jika aspek kebergamaan ini diterima, maka harus muncul paradigma baru yang mendudukan dimensi praktis atau terapan pelaksanaan sajaran islam sebagai lahan garapanya10.
IV.Kesimpulan
Agama terdiri atas wahyu yang terkandung di dalam Al qur’an dan unsur hadis yang memang dialamatkan kepada seluruh umat manusia. Sedangkan keberagamaan adalah respon manusia terhadap wahyu Tuhan. Wujudnya adalah posisinya sebagai mahluk individu maupun sebagai anggota masyarakat
Cakupan lingkup keberagamaan dalam islam yang demikian untuk mencakup selruh segi kehidupan manusia baik drai aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, tekhnologi da sebagainya. Demikian juga dalam agama normative, muatan keberagamaanya meliputi seluruh segi kehidupan manusia .
Struktur keberagaamaan meliputi beberapa lapis keberagamaan yaitu lapis transedental, lapis kejiwaan, lapis perilaku perorangan dan lapis kehidupan kelompok. Jika ditilik dari sisi metodologi, dengan mempertimbangkan dinamika hubungan antara universalitas dan singularitas, lapis keberagamaan terdiri atas dimensi normative, spekulatyif, intuitif dan dimensi terapan.
V.Penutup
Demikian uraian makalah yang dapat penulis sajikan, apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam pemaparan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pastilah milik manusia karena itu, tidak lupa kritik dan saran selalu kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
REFERENSI
Ma’mun mu’min, Tekhnologi Keberagamaan : Suatu Ihtiar Implementasi Praktis Dalam Menyongsong Era Global, Kudus, Stain Kudus Press, 2006
Moh Dlofir, Buku Daros Ilmu Tauhid Amali, Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama, Stain Kudus, 2004
Muslim, A Kadir, Ilmu Islam Terapan : Menggas Paradigm Amali Dalam Agama Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1 . 2005
Islam merupakan agama yang hadir melalui perantara nabi Muhammad yaiu dengan di wahyukan Al qur’an sebagai sumber ajaran. Sebagai wujud yang diturunkan oleh Allah, islam mempunyai dimensi transedental. Dengan kebenaran yang bersifat untestable truth dan hanya berhenti pada dimensi ajaran atau ide saja.
Sebagai suatu ajaran, islam harus dilaksanakan oleh semua pemeluk diseluruh dunia. Namun hal ini belum merupakan pelaksanaan alam praksis kehidupan masyarakat yang bersifat konkrit, maka harus dijembatani oleh proses faktualisasi ujung akhir proses faktualisasi ini adalah terwujudnya ajaran agam islam yang normatif menjadi tampilan konkret yang empiris. Tampilan konkret pelaksanaan ajaran islam inilah yang akrab disebut keberagamaan.
Sebelum menjadi lingkup keberagamaan sebagaimana dimaksud dalam mata kuliah tekhnologi keberagamaan, maka terlebih dahulu perlu dipahami perbedaan anatar agama dan keberagmaan. Hal ini penting didahuukan mengingat selama ini masih ada pemahaman yang rancu dan tidak bisa membedakan esensi agama dengan esensi keberagamaan. Bila dalam membedakan esensi agama dengan esensi keberagamaan saja masih kabur, maka akan terjadi kekeliruan dalm membedakan lingkup dan struktur keberagamaan itu sendiri.1
II.Rumusan Masalah
Apa saja perbedaan antar agama dengan keberagamaan ?
Apa saja lingkup keberagamaan itu ?
Meliputi apa saja struktur keberagamaan itu ?
III.Pembahasan
A.Agama Dan Keberagamaan
Agama terdiri atas wahyu yang terkandung di dalam al qur’an dan unsur hadis yang memang dialamatkan kepada seluruh umat manusia. Agama hanya menunjukkan pada dimensi ajaran atau ide dan baru dapat menjadi kenyataan konkret jika sudah menjadi keberagamaan2.
Dengan demikian keberagamaan adalah respon manusia terhadap wahyu Tuhan. Wujudnya adalah posisinya sebagai mahluk individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pelaksanaan konkret dimaksud dapat berupa pola pikir, ucapan, sikap, maupun perbuatan-perbuatan3.
Perbedaan konsep agama dan keberagamaan sekaligus merumuskan esensi islam sebagai wahyu harus dilaksanakan dalam kehidupan konkret. Agama bersifat universal dan keberagamaan bersifat singular. Universalitas islam sepenuhnya dapat dicari dalam al qur’an. Sementara sunnah atau hadis pada tampilan empirisnya adalah faktualisasi ajaran islam oleh Rosulullah dalam ruang waktu dimana beliau hidup. Ini berarti sunnah adalah singularitas islam diarab pada masa rosulullah hidup4.
B.Lingkup Keberagamaan
Salah satu unsur dasar dalam islam adalah adanya kesatuan antara dunia dan akhirat. Prinsip dasar ini kemudian di pertegas dengan rumusan islam kaffah yang mengandung arti bahwa ajaran islam didalamnya meliputi seluruh kehidupan umat manusia. Ini berarti, seluruh aspek kehidupan apakah duniawi atau ukhrowi adalah medan keberagamaan dalam wujud respon kepada wahyu Allah SWT5. Karena merupakan wujud respon kepada wahyu Tuhan, maka cakupan atau lingkup pengalaman ini akan mengacu pada cakupan atau lingkup pengalaman ini akan mengacu pada cakupan atau lingkup bidang – bidang kehidupan kemanusiaan yang di kehendaki oleh wahyu.6
Keberagamaan islam sangat berkait erat dengan agama yang diturunkan oleh Allah swt melalui nabi Muhammad saw . akan tetapi antara keduanya (agama dan keberagamaan) terdapat relevansi metodologis yang cukup mendasar. Agama bersifat universal, sedangkan keberagamaan islam bersifat singular.
Cakupan lingkup keberagamaan dalam islam yang demikian utuh mencakup seluruh segi kehidupan manusia baik aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, tekhnologi dan sebagainya. Demikian juga dalam agama normative, muatan keberagamaan meliputi seluruh segi kehidupan umat manusia7.
C.Struktur Keberagamaan
Dalam islam keberagamaan merupakan aktualisasi ajaran islam dalam seluruh lapis kehidupan manusia. Lingkup keberagaamnan ini bukan hanya meliputi kehidupan didunia akan tetapi juga kehidupan setelah mati. Ruang lingklup keberagamaan didunia mempertimbangkan beberapa hal seperti : materi kegiatan, pelaku, konteks pelaksanaan kegiatan, dan tujuan yang akan dicapai. Ada unsur-unsur ini keberagamaan dalam islam meliputi semua aspek kehidupan8.
Keberagamaan dalam pelaksanaanya merupakan gejala yang terbentuk dari berbagai unsur. Unsur-unsur pembentuknya adalah Tuhan yang menurunkan petunjuknya dalam wujud Al qur’an dan sunnah, serta manusia yang memberikan respon dalam wujud pemikiran perbuatan dan kehidupan sosial yang menjangkau seluruh segi kehidupan mereka9.
Selanjutnya substansi keberagamaan pada dasarnya dapat dibagi menjadi beberapa lapis, bergantung pada karakter maisng-masing unsur dan pengaruhnya terhadap pembentukan keberagamaan secara keseluruhan, lapis keberagamaan sebagai meliputi :
Lapis transedental
Lapis kejiwaan
Lapis lapis perilaku perorangan
Lapis kehidupan kelompok
Namun ditilik dari sisi metodologi, dengan mempertimbangkan dinamika hubungan antara universalitas dan singularitas, lapis keberagamaan terdiri atas :
a)Dimensi normative
Pada dimensi normative, lapis keberagamaan hanya berorientasi pada aspek normative dari ajaran islam semata dan tidak membuka peluang bagi aspek prosedur pelaksanaanya. Pada dimensi ini, umat islam dalam pengalaman hukum islam berhenti pada sisi normative syari’at islam menurut bahasan yang dikemukakan para imam madhab.
b)Dimensi spekulatif
Pada dimensi spekulatif, justru keberagamaan berhenti pada rumusan pemahaman tentang masalah aqidah yang bercorak filsafat. Pola keberagamaan pada dimensi ini semakin menjauh dari kehidupan konkrit karena terpaku pada rumusan-rumusan yang bersifat spekulatif.
c)Dimensi intuitif
Pada dimensi intuitif, keberagamaan lebih mengarah pada upaya perumusan konsep perjalanan riyadloh menjadi seperangkat latihan moral, dan pada akhirnya tujuan yang dicapai lebih mengarah pada upaya mendekatkan diri pada Tuhan dari pada melaksanakan perintah-Nya dalam kehidupan praktis.
d)Dimensi terapan
Dari ketiga lapis keberagamaan tersebut, baik pada dimensi normative, spekulatif maupun intuitif jelas bukan merupakan wujud keberagamaan islam yang benar-benar diharapkan dan dapat menyelesaikan berbgai persoalan bangsa yang demikian kusut. Padahal lingkup keberagamaan yang tidak boleh ditinggalkan adalah dimensi praktis atau terapan dalam kehdupan konkret pemeluk. Jika aspek kebergamaan ini diterima, maka harus muncul paradigma baru yang mendudukan dimensi praktis atau terapan pelaksanaan sajaran islam sebagai lahan garapanya10.
IV.Kesimpulan
Agama terdiri atas wahyu yang terkandung di dalam Al qur’an dan unsur hadis yang memang dialamatkan kepada seluruh umat manusia. Sedangkan keberagamaan adalah respon manusia terhadap wahyu Tuhan. Wujudnya adalah posisinya sebagai mahluk individu maupun sebagai anggota masyarakat
Cakupan lingkup keberagamaan dalam islam yang demikian untuk mencakup selruh segi kehidupan manusia baik drai aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, tekhnologi da sebagainya. Demikian juga dalam agama normative, muatan keberagamaanya meliputi seluruh segi kehidupan manusia .
Struktur keberagaamaan meliputi beberapa lapis keberagamaan yaitu lapis transedental, lapis kejiwaan, lapis perilaku perorangan dan lapis kehidupan kelompok. Jika ditilik dari sisi metodologi, dengan mempertimbangkan dinamika hubungan antara universalitas dan singularitas, lapis keberagamaan terdiri atas dimensi normative, spekulatyif, intuitif dan dimensi terapan.
V.Penutup
Demikian uraian makalah yang dapat penulis sajikan, apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam pemaparan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pastilah milik manusia karena itu, tidak lupa kritik dan saran selalu kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
REFERENSI
Ma’mun mu’min, Tekhnologi Keberagamaan : Suatu Ihtiar Implementasi Praktis Dalam Menyongsong Era Global, Kudus, Stain Kudus Press, 2006
Moh Dlofir, Buku Daros Ilmu Tauhid Amali, Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama, Stain Kudus, 2004
Muslim, A Kadir, Ilmu Islam Terapan : Menggas Paradigm Amali Dalam Agama Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1 . 2005
izin copy paste
ReplyDelete